"Social Studies" dan Tanggung Jawab Intelektual

       Ilmu Pengetahuan Sosial yang terkenal ambisius itu sebenarnya tidak sekaliber untuk merampungi permasalahan sosial. Kebanyakan masih berbicara sebagai teori-teori yang lahirnya dari kondisi manusia dan lingkungannya. Bagi yang punya konsentrasi belajar di bidang ini harus memiliki kesadaran untuk memahami ilmu sosial sebagai dinamika aksi dan reaksi. Jika ilmu sosial adalah sebuah aksi maka ia juga menjadi penyebab reaksi datang. Apabila itu sebatas reaksi maka harus benar-benar berusaha mendalami aksi apa yang sebenarnya melatarbelakangi.

      Belajar ilmu sosial adalah belajar sebab akibat dalam keluasan pandang. Ada jarak pandang, sudut pandang, cara pandang yang meliputi berbagai sisi, perspektif, dan dimensi. Kalau dasar-dasar ini sudah dikuasai maka ilmu sosial ini adalah bagian pintu sahaja untuk menuju ruang bersama dalam menyelesaikan persoalan kehidupan. Ilmu sosial juga diharapkan bisa memprediksi guna menjawab tantangan zaman. Apalagi cita-cita ilmu pengetahuan sosial untuk menjadikan warga bangsa yang baik maka dimensinya tidak saja horizontal dalam menjalin ukhuwah wathaniyah. Saling menjaga kerukunan dalam perbedaan ini membutuhkan kesadaran insaniyah dalam sisi dan perspektif transendental.

     Membelajarkan IPS seperti melakukan beberapa hal dalam waktu bersamaan karena yang terpenting bukan proses transfernya tetapi bisa tidak merawatnya untuk menuai kebijaksanaan-kebijaksanaan. Lebih-lebih kali ini harus dibebani dengan riset dan praktik pembelajaran PGSD serta membawa beban intelektual sebagai bagian mahasiswa magister pendidikan. Bisa jadi ini sebenarnya bukan tugas manusia biasa untuk menyelesaikan hal tersebut secara utuh. Pengalaman yang didapat tentu juga berbeda, ada yang percaya diri luar biasa dengan kemampuannya, beberapa merasa hanya sebagai pembelajar yang sama-sama sedang mencari, dan ada yang berangkat dengan keminderan bahwa tidak pantas membelajarkan kepada orang lain. Beberapa hal tersebut tinggal bagaimana sebagai pelaku riset memberi makna dan nilai saja tetapi seharusnya jika melakukan riset itu adalah bentuk kesadaran kalau pengetahuan yang kita miliki sungguh sangat sedikit.

       Dengan bekal kerendahan hati memang cara terbaik untuk mengkaji ilmu secara bersama-sama. Tidak saja mahasiswa belajar dari dosen tetapi dosen pun sangat belajar kepada mahasiswanya. Riset dan praktik di PGSD Universitas Ahmad Dahlan kami upayakan dalam rangka belajar menghargai perbedaan. Dari hal terkecil perbedaan berpendapat, apapun pendapat itu harus didengarkan. Ada kebiasaan yang terkadang luput dari perhatian misalnya karena merasa lebih tahu maka apa yang diungkapkan orang lain selalu saja bernialai salah. Mahasiswa pun demikian yang terlampau sering pandai menjawab tetapi tidak mampu menjadi pendengar yang baik. Hanya mengakui perkataan apabila diucapkan oleh orang-orang tertentu, padahal mestinya ditempatkan pada dasar apa yang disampaikan bukan siapa yang menyampaikan.

      Fenomena sekarang memperlihatkan bahwa hampir tiap waktu kita dijejali banyak kebijakan-kebijakan. Namun sungguh sayang kalimat indah yang terserak tersebut hanya berhenti pada fenomena quote, maka pola pembelajaran yang kami upayakan di dalam kelas adalah mewujudkan keseimbangan pikiran, rasa, dan laku. Memang seharusnya demikian sebab dalam substansi disiplin ilmu sosial bukan sekedar menghafal peristiwa. Misal belajar sejarah adalah cara kita pergi jauh ke masa silam agar dapat meraih masa depan yang lebih baik. Begitupun disiplin ilmu lain yang menjadi cabang dari ilmu sosial dimana memiliki ciri empiris non-etis. Belajar ilmu sosial tidak sekedar mengeneralisasi tetapi melihat fakta kesalahan untuk diperbaiki atau minimal tidak terjebak dalam permasalahan yang sama. Kemudian mampu menemukan kebaikan untuk diteguhkan dan ditegakkan kembali.

       Kelas IPS ini beranggotakan mahasiswa calon guru sekolah dasar, maka tidak main-main hal yang akan diembannya kelak. Pendidikan dasar berarti memberikan pemahaman-pemahaman nyata kepada siswa untuk peka terhadap kondisi sosial. Di zaman dengan mengutamakan kecepatan arus informasi ini tidak mudah untuk memfilter pengaruh dari berbagai tempat. Hasil belajar haruslah mencerminkan ke-khasan sebagai pribadi yang tidak mudah terpengaruh dengan hal di luar dirinya. Anak juga perlu dilatih untuk memiliki kebebasan berpikir tidak terpaku kepada batasan-batasan yang ditentukan orang dewasa. Ilmu sosial memiliki kesempatan lebih di ruang pemahaman ini, tinggal bagaimana guru tersebut memiliki pengetahuan yang lebih luas sehingga mampu memancing pemikiran itu kepada penemuan sendiri oleh anak tentang salah dan benar, baik dan buruk, ataupun punya manfaat dan tidak untuk dirinya.

        Haluan-haluan yang perlu dipahamkan sejak dini berupa cara mereka bermedia sosial yaitu untuk saling berkomunikasi langsung, membangun hubungan pertemanan tidak dalam rangka sekadar menjadi pengikut atau teman semu di dunia virtual. Kami pun tidak segan membuat suasana kuliah menjadi arena pentas berpikir yang menyeluruh dengan langkah strategis berupa belajar sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber.

       Universitas Ahmad Dahlan sebagai kampus Islam dan dekat dengan organisasi Muhammadiyah sebenarnya menjadi tantangan tersendiri bagi kami dalam belajar. Badai sekuler yang menerpa bangsa ini dan belum lagi isu perpecahan dengan menjual isu keagamaan kadang tidak sengaja menjadi pembicaraan di ruang-ruang ilmiah. Berangkat dari salah satu kisah K.H. Ahmad Dahlan yang selalu mengajarkan tentang makna surah Al-Maun. Wala yahuddu ala ta’amil miskin. Diulangnya berkali penggalan ayat ke-tiga tersebut sehingga membuat muridnya bertanya, “Mengapa Keyai selalu menyampaikan makna Al-Maun dan mengulang-ulang di ayat tersebut, kami sudah hafal dan kami telah mengamalkan.” Keyai Ahmad Dahlan mengajak murid-muridnya untuk berpikir, “tidaklah cukup menghafal dan mengamalkan tetapi apa yang telah kita perbuat dengan adanya orang-orang miskin di sekitar kita?” Semua muridnya termenung karena mereka menyadari belum mampu melakukan perjuangan-perjuangan dalam menegakkan keadilan tersebut.

       Begitu pula tanggung jawab seorang intelektual dan terlebih telah berusaha mempelajari khasanah sosial. Sudahkan ilmu sosial itu dimaknai kembali sebagai golongan orang-orang yang berguna? Karena belajar ilmu apapun sebenarnya kita sedang menemukan keagungan Tuhan dari rahmat kepada barokah untuk semesta alam dalam kesatuan pengetahuan. (A. Ratman - Dikdas 2015)